Doktrin Consciousness / Kesadaran dalam Buddhisme

13/11/2014 12:00

https://en.wikipedia.org/wiki/Eight_Consciousnesses

 

Di Theravada hanya ada 6 consciousness. Doktrin lainnya sampai 8. Praktek Theravada arahnya pada purifikasi mental factors (yaitu 6 consciousness itu). Praktek Chan/Zen dan Vajrayana, sesuai doktrinnya, ya sampai consciousness 8 itu...

 

Ya sesuai praktisi saja, sesuai realisasinya. Contohnya kesaksian Ajahn Maha Bua : https://emptyrainbow.webnode.com/news/airmata-seorang-buddha/

 

--

Soal praktek. Samatha itu dalam pengertian tradisi lainnya diartikan calm-abiding, jadi berdiam. Beda dg pengertian konsentrasi. Doktrinnya consciousness itu pada dasarnya bening, tp krn perhatian tertuju pada avijja dan anaknya kilesa berikut obyek tempat kotoran melekat yaitu 5 skandha, maka kejernihan itu tidak tersadari. Ibaratnya samatha itu membiarkan kotoran mengendap dan air pun jernih. KeBuddhaan bukan hasil fabrikasi, seperti kejernihan itu selalu ada sejak awal. Ini samatha. Lalu vipassana itu dalam tradisi lain dipahami sebagai discerning meditation, alias meditasi analitis. Arahnya melihat sifat tilakkhana: dukkha, anicca, anatta dalam tiap-tiap skanda yg menjadi biang keladi pengotor penarik perhatian. Merenungkan tilakkhana, tujuannya supaya sampai pada conviction/tahu-dg-yakin-pasti atas 3 sifat tsb pada 5 skandha. Dari conviction ini, lahirlah sikap batin tertentu: mengalami 5 skandha dg yakin-pasti bahwa semuanya itu dukkha, lahir sikap renunsiasi; mengalami 5 skandha dg yakin-pasti semuanya itu anicca, lahir sikap letting go, tak terikat, melepas; mengalami 5 skandha dg yakin-pasti semuanya itu anatta, lahir sikap rileks keterbukaan. Sikap batin ini: renunsiasi, letting go, relax-openness; itulah modal praktek samatha alias calm-abiding; membiarkan kilesa runtuh dan membuka pada kejernihan yg di luar pikiran (pikiran kan salah satu dari pemikat dalam 5 skandha).

Dalam Chan/Zen misalnya praktek samatha-vipassana tidak dibedakan secara khusus, namun dipraktekkan simultan. Dalam tradisi Vajrayana lebih variatif 'tools' atau tekniknya spt mantra, visualisasi, devosi - tapi arahnya ya ke yg di atas itu..

--

Buku bhikku Khemavamsa ttg cittanupassana itu. Semuanya di pikiran, itu benar. Lalu bagaimana 'menyadari-saja' pikiran ttg badan, pikiran ttg perasaan, pikiran ttg persepsi, dll itu? Aspek-aspek batin apa saja yg terlibat dalam kegiatan 'menyadari-saja' itu?

Itulah yg saya mau sampaikan, yakni bahwa dalam 'menyadari-saja' itu ada aspek batin seperti renunsiasi, letting go, relax-openness; aspek-aspek batin yg dikultivasi lewat praktek discerning meditation alias vipassana. Discerning, itu pakai pemikiran. Hasilnya conviction, rasa kepastian, haqul yakin. Kalau membaca tulisan-tulisan ttg mindfulness oleh para pakar neurosains, jelas aspek-aspek batin yg terkandung di dalam mindfulness.

Misalnya aspek batin letting-go atas tubuh, bisa dikultivasi lewat aspek devosi. Ambil contohnya seperti praktek orang Katolik Philippines mencambuk badannya sepanjang matahari bersinar di hari raya Jumat Agung. Kalau persepsi 'mempersembahkan tubuh' atau merelakan tubuh seseorang sudah kira-kira semacam itu, bolehlah mengklaim saya sudah 'menyadari-saja' pikiran-saya-atas-tubuh. Ini contoh ekstrim saja, bagaimana praktek devosi di Vajrayana bisa mengarahkan pada vipassana-samatha.

Sebenarnya dalam mahasatipatthana sutta, arah praktek vipassana juga adalah membedah organ-organ badan sebagai sesuatu yg menjijikkan (discerning). Discerning, dengan menggunakan pikiran, lalu mengarah pada conviction dan kemudian memunculkan rasa renunsiasi atas badan. Sama juga dg penekanan pada aspek origination (kemunculan) & passing away (lenyapnya) aspek-aspek 4 landasan vipassana alias aspek anicca. Arahnya spt yg saya sampaikan adalah memunculkan aspek batin letting go, krn sudah men-discern alias mempersepsikan secara mendalam bahwa semuanya itu tidak kekal. Dalam tulisan kutipan mahasatipatthana itu, bisa diperhatikan penekanan pada kata 'discerning' (https://www.accesstoinsight.org/tipitaka/dn/dn.22.0.than.html)

Jadi menggali aspek batin bawah-sadar (sub-conscious), itu efektif juga lewat praktek-praktek spt devosi dll itu. Ketimbang instruksi 'menyadari-saja-tanpa-terseret-tanpa-menilai' blah blah yg bekerja di conscious level of mind. Ini secara ilmu psikologis ya...

Jadi memang ada baiknya praktek-praktek Buddhism juga dilihat dari kacamata ilmu modern; utk membantu memahami konteks dari praktek-praktek tsb.

--

Tujuannya, supaya paham inti praktek samatha-vipassana. Vipassana itu discerning, aktifitas mental atas obyek-obyek skandha. Hasilnya pada sikap mental renunsiasi, letting go, dan relax-openness, dll. Sikap mental inilah yg berguna dalam praktek samatha atau calm-abiding; alias menyadari-saja alias tidak terpikat obyek-obyek skandha tadi. Jadi ibarat dua sayap, saling membantu satu sama lain.

--

Jadi rancu kalau masih membawa-bawa praktek 'menyadari-saja' yg sebenarnya adalah praktek shinay (samatha-nya Vajrayana) dg pengertian samatha Theravada yg menekankan konsentrasi utk pencapaian jhana. Kacau balau campur-aduk tak keruan.

--

Sama juga dg yg suka baca koan dari tradisi non Chan/Zen, tanpa paham peran koan dalam praktek terkait di Chan/Zen. Tanpa paham esensi dan tujuannya, malah jadinya kek adu tebakan siapa yg pintar.

--

Kalau membaca mahasatipatthana sutta itu, ada aspek penting discernment (peresapan ke dasar hati) yg sering dilewatkan, namun merupakan aspek terpenting sebelum aspek dukkha/unsatisfactoriness, anicca/impermanence, dan anatta/non-self. Aspek itu adalah formasi, bentukan, atau shankara. Di sutta itu, prakteknya adalah menguliti/membongkar formasi-formasi dari 5 skandha. Badan ke organ-organ, elemen-elemen, dst. Dari penguraian itulah, kelihatan kenapa ia bersifat dukkha (dukkham, akhiran m di kata Pali artinya kata sifat), aniicam, anattam. Jadi jalurnya discernmentnya: shankaram, dukkham, aniccam, anattam, - lalu setelah itu sunyatam, dan tathatam.. yg dua terakhir ini tidak bisa di-discern (olah mental), tp realisasi langsung lewat pengalaman transeden (melampaui pikiran).

--

Melepas konsep itu bisa bilang mudah, karena itu tahap awal utk meditator serius, tapi ada banyak aspek batin yg lebih halus lagi drpd sekedar konsep atau label/kata. Konsep, label, kata itu bagian dari pikiran, salah satu dari 5 skandha. Contohnya rasa 'aku-ini-ada'. Atau rasa 'ada sesuatu di luar sana', there is a world out there. Dsb, dsb. Coba baca kesaksian Ajahn Maha Bua yg terkenal konsentrasi meditatifnya hebat itu saat menelisik aspek-aspek batin; betapa halusnya aspek-aspek mental itu. Doktrin 'tanpa-konsep' itu terlalu dibesar-besarkan, walaupun ia terlihat superior di kalangan Buddhis yg terikat doktrin.

--

Semuanya penghalang.

Dalam sutta dikatakan apa maksudnya 'semuanya itu': "The Blessed One said, "What is the All? Simply the eye & forms, ear & sounds, nose & aromas, tongue & flavors, body & tactile sensations, ***intellect & ideas***. This, monks, is called the All." Kecerdasan (olah-akal) itu nggak ada artinya dibandingkan pengalaman transeden kejernihan itu. Tapi kecerdasan itu juga merupakan 'tools', alat bantu yg mesti dipakai sesuai fungsinya; bukan lantas dianggap secara paranoid untuk dihindari krn salah memahami metode dan praktek.

--

5 skandhas, yg jadi penghalang itu, sebenarnya adalah tools yg dipakai utk menghancurkan penghalang itu. Jadi seperti reaksi penghancuran-oleh-diri-sendiri. Dalam istilah Vajrayana, racun yg menjadi obat. Misalnya badan. Badan inilah yg membentuk postur meditasi, yg melakukan diet tidak makan lewat siang hari, atau kalau di tradisi lain, ada yoga, pantang unsur makanan tertentu, pantang perilaku tertentu spt seks, dll. Itu 4 landasan perhatian dalam meditasi, dijadikan 'alat-bantu' meditasi vipassana analitis. Discernment yg salah satu aspek mental juga menjadi alat-bantu. Nafas jadi alat-bantu samatha. Aspek rasa didayagunakan di Mahayana dan Vajrayana spt contoh devosi yg saya sebut tadi. Dan seterusnya. Kesadaran/mindfulness itu pun aspek mental yg menjadi alat bantu saja. Realisasi, kalau menurut doktrin Theravada adalah purifikasi dari ke-6 aspek kesadaran misalnya sotapanna ditandai purifikasi aspek kesadaran atas 'rasa-aku', dan seterusnya. Dalam Mahayana dan Vajrayana, realisasinya pada 'the true nature of mind', alaya vijnana, atau rigpa, spt link yg saya kasih di atas.

--

Dalam contoh simpelnya peran meditasi analitis vipassana thd praktek shinay 'menyadari saja', begini : saat lewat di gang, bertemu sesuatu yg melintang, ketakutan mengira ular; tp dikuat-kuatkan hati utk lewat. Ini mirip spt tindakan 'sadari saja' sewaktu bertemu aspek mental yg mengganggu - misalnya aspek mental yg disebut kecerdasan atau konseptualisasi. 'Sadari saja' kecerdasan atau konseptualisasi itu, tapi mentok terus, tidak pergi-pergi. Nah, seharusnya saat bertemu penghalang dari kecerdasan/ konseptualisasi ini; lakukan vipassana atau analitis, penyelidikan, menelisik, membongkar, meng-oprek obyek kecerdasan/konseptualisasi ini lewat jalur tadi: bongkar aspek-aspek pembangunnya, elemennya, penyebabnya, dari mana ia muncul, kemana ia pergi, apakah ia hasil upaya sadar'ku'. Kalau mau, banyak cara atau sudut yg dipakai untuk menelisik penghalang kecerdasan atau konseptualisasi ini. Hal ini dilakukan sampai terlihatlah oleh pemikiran sendiri bahwa obyek kecerdasan atau konseptual itu sifatnya fault/cacat, tak-memuaskan, tak-kekal, dan bukan diriku. Ini bukan doktrinasi, tapi penemuan sendiri spt peneliti menemukan kesimpulan dari penyelidikan yg melelahkan. Setelah menemukan sendiri sifat tilakkhana dalam obyek itu, masakah masih jadi penghalang atau obyek kelekatan? Setelah meng-oprek obyek yg dikira ular itu ternyata hakekatnya tali, kan tidak jadi penghalang lagi. Kalau biasa vipassana alias menyingkap hakekat obyek batin, saya malah heran kalau tidak tertarik pada psikologi dan neurosains - krn keduanya hasil kegiatan membongkar aspek batin juga.

--

Realisasi ultimate dr meditasi bukan ketenangan dan keteguhan batin (ini efek sementara setelahnya). Pengalaman transeden 'apa yg tak pernah dilihat mata, didengar telinga, terpikirkan oleh pikiran, dst'; namun juga sangat biasa, bukan terbang ke alam berbeda. Ya tak terjelaskan. Namun efeknya adalah kelegaan, pemahaman, welas kasih, dll. Mengalami itu, ya seperti Ajahn Maha Bua itu reaksinya, tangis suka cita mengalir hanya dengan mengingat pengalaman itu saja. Makanya saya kurang percaya yg menceritakan pengalaman meditasi ultimate dg muka datar jaim, padahal itu adalah pengalaman kebebasan sempurna dari melihat kondisi samsara apa adanya; dari melihat ketakutan, hasrat, pengejaran, pelarian, kesenangan seumur hidup itu adalah pada hal-hal ilusif ibarat lega melihat apa yg dikira ular rupanya tali tambang saja. Bisa juga ketawa terbahak-bahak ibarat melihat betapa lucunya menghabiskan begitu banyak energi sepanjang hidup membuat berbagai strategi dan perilaku mengamankan diri dari si ular, rupanya tali tambang saja (ada istilah Vajra Laugh di Vajrayana). Menang lotre, selamat dr siksaan psikopat, menemukan anak yang hilang saja sukacitanya bikin orang banjir air mata. Jadi saya setuju dg Ajahn Maha Bua walaupun banyak juga Buddhis yg berpendapat bahwa orang tercerahkan tak bakal menangis dr referensi kitabnya. Yah, setidaknya saya jujur dg pengalaman sendiri.

--

Jadi pengalaman itu macam satori, pencerahan seketika. Namun orang salah tangkap bahwa pengalaman itu berarti pencerahan permanen. Banyak murid Zen mengalami satori dan kemudian belajar terus berpuluh-tahun untuk realisasi permanen. Dalam Vajrayana ada istilah pointing out to the nature of mind, dimana lewat praktek tertentu guru membimbing pada murid melihat batin murninya. Ini langkah di awal, setelah itu murid tetap memperdalam praktek utk realisasi permanen. Praktek yg sama juga di Hindu, dari kisahnya Parahamsa Yogananda.

--

Dari doktrin 8 consciousness yg saya kasih di atas, bisa dicek keabsahan pengertian masing-masing, termasuk pengertian samadhi, jhana, menyadari-saja, dll. Karena realisasi itu cuma pada 8 consciousness tsb...

Back